Tuesday, September 19, 2006

INDONESIAN BEAUTY


Category: Music
Genre: New Age
Artist: Viky Sianipar

My friend Jessica Huwae from Spice magz has been head over heels in love with this album. She can even recite to you her favorite songs and what's in them.

Strangely enough, my first acquaintance with Viky Sianipar was not at a musical show or any other kind of musical gathering, but at a lapo (Batak restaurant) that his family manages. Thanks to my boyfriend who took me there and in a way has been promoting the delicacy of the food there (which he didn't lie).

A few days later I got a chance to attend Kabaret Jo at Viky's studio and happened to hear some songs from this album as we were sitting in the cozy cafe in front of the studio after the show.

It was not until last Sunday that I happened to listen to the entire album at my boyfriend's place and guess what.... Jessica is absolutely right!
This is indeed an Indonesian Beauty. An Indonesian gem meticulously polished by Viky and several talented musicians such as Lea Simanjuntak, Sujiwo Tejo, and others to bring out the genuine beauty of Indonesian music.

I have been listening to this album ever since and the more I listen to it, the more confident I am that Indonesia does have a bright future ahead!

Monday, September 11, 2006

Who Says Money Can Buy Everything?


If money can dress you up from head to toe with branded goods, why can't they buy you taste?

If money can buy you high education even to overseas countries, why can't they buy you wisdom?

If money can buy you power and authority, why can't they buy you the ability to yield them appropriately?

If money can buy you friends, why can't they buy you their love?

Even if you think money can buy you their love, why do you still need to pretend to convince them?

So, after all there are many things that money can't buy. Thank you my friend for teaching me that. I wish you all the best!

Monday, March 20, 2006

Bali Escapades

What do you need after a loads of works and pitches that take away even your weekends?

Yup, a well deserving break at a refreshing place.
And is there any better place than Bali?

Right, don't tell me about the recent bombings and the fact that Bali as a holiday destination is so basi (some of my friends have already turned to other holiday destination like Lombok or Bunaken). During the 6 days stay - 3 days training with the office and 3 days holidays - I still find Bali enchanting.

To begin with, we arrived in Bali at 00:30 on 17th February 2006, all weary and sleepy. By the time we catch the sight of the hotel's signboard, our hearts sink to the stomach (is this some kind of bed and breakfast?). But as soon as we step inside... voila! Our mood is suddenly lifted up at the sight of the contemporary design with an ethnic touch and the offer of a homey ambience. According to a taxi driver in Bali, the Oasis Kuta has been one of the most favored hotel destination recently.


Fellowship of OgilvyOne
I woke up the next day to a bright and sunny morning, greeted by the waving of the palm tree outside the balcony and a yummy American breakfast buffet at the half-open lobby resto. A very refreshing way to start a day of full packed training, which was closed by dinner at the marvellous Ma Joly.

It used to be the home where our Balinese born GM was raised, beautifully lined by the Tuban beach. Before it was turned to a boutique hotel housing 12 suite rooms and a posh restaurant with a breathtaking view of the beach.



For 2 consecutive nights we manage to check out cool places to chill out. The Ku De Ta and Hu'u at jalan Peti Tenget, Seminyak.



And of course, the most favored seafood eating place at Jimbaran.



But, my best of the best spot in this trip is the Dreamland at Pecatu.



What could be more beautiful than sunset in Dreamland





Alas, as all good things have to last, so there comes our final day of traning in Bali. That last Saturday afternoon, before all my colleagues depart to Jakarta, some of us had our lunch in Warung Babi Guling Candra at jalan Teuku Umar (oops, this is strictly only for pork lovers)



But, as I waved goodbye to the leaving bus in the evening, my heart throbs with another excitement. Three more days exploring Bali with my beloved. Here I come Ubud, Uluwatu, Seminyak, and Kuta....

Thursday, February 09, 2006

Nothing Venture Nothing Gain



Hampir semua temannya terkejut mendengar keputusan Hartono membuka kios ponsel kecil di depan rumahnya. Di perusahaan makanan tempatnya bekerja sekarang Hartono sudah menjadi tangan kanan bos dengan gaji dan tunjangan memadai. Jadi, ngapain membuang semua yang telah dirintisnya bertahun-tahun demi memulai pekerjaan baru yang sama sekali belum pernah dirambahnya dari nol?

“Awalnya saya takut kalau kios ini nanti untungnya sedikit atau pasaran lagi sepi. Lain kalau kita bekerja sebagai karyawan. Gaji, tunjangan, atau THR sudah terjamin. Kalau sekarang saya harus punya business plan sendiri. Tapi saya yakin kalau kita sungguh-sungguh, kerja apa pun pasti bisa,” tandasnya dengan mantap.

Kalau Hartono mantap dengan pilihannya, maka Sri masih maju mundur. 9 tahun bekerja sebagai staf akunting di sebuah perusahaan semen, Sri merasa karirnya sudah ‘mentok’. Gaji tidak naik-naik, promosi jabatan tak kunjung datang, skill dan ketrampilan pun dirasa tidak berkembang, ditambah lagi ia tak pernah menyukai pekerjaan akunting sejak awal. Satu-satunya yang membuat Sri tetap bertahan adalah lingkungan kerja yang nyaman dan rekan-rekan kerja yang asik.

Sebenarnya, apa sih yang seharusnya kita cari dalam bekerja?

Hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup
Pertama-tama, tentunya kita perlu mempertanyakan kita kerja untuk apa. Cari uang? Tantangan? Kemandirian? Kepuasan dari melakukan hal-hal yang kita sukai? Reda Gaudiamo yang mengaku sudah 12 kali pindah-pindah kerja mengatakan bahwa setiap pilihan yang diambil memiliki konsekuensi tersendiri. Misalnya, semasa bekerja di biro iklan ia pernah menikmati gaji cukup tinggi. Namun, lambat laun pekerjaan itu dirasa tidak menantang lagi, karena hampir semua ide didatangkan dari kantor regional di luar negeri, sehingga boleh dibilang Reda tinggal mengadaptasinya ke dalam konteks Indonesia dan menikmati ‘gaji buta’. Ketika datang tawaran menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah wanita dengan gaji kurang dari setengah gajinya sekarang, tanpa pikir panjang ia langsung menerima.

“Pertimbangan saya adalah dengan majalah ini saya bisa mempengaruhi cara berpikir orang-orang. Membuat para perempuan percaya diri dan bisa menghargai laki-laki,” ujarnya. Ditambah lagi dengan pekerjaan barunya ia bisa mendapat beragam majalah dari manca negara gratis. Padahal dulu harus dibeli dengan menguras uang sakunya.

Senada dengan Reda, Pandita Tan Kok Siong menambahkan bahwa semua pekerjaan memiliki konsekuensinya masing-masing. Namun, yang terpenting adalah mendengarkan suara hati kita sendiri. “Kita pengennya apa. Jangan mengerjakan sesuatu hanya karena menurut orang-orang itu yang baik atau sebaliknya takut orang tidak menganggap itu baik untuk kita,” tandasnya.

Live out your words
Setelah menetapkan pilihan plus segala konsekuensinya, jalankan dengan gembira. “Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan supplier kelapa sawit. Dari nggak ngerti apa-apa sampai bisa merapikan database perusahaan yang kacau selama bertahun-tahun, sehingga gaji saya naik. Setelah merasa nggak ada tantangan lagi saya pindah kerja menjadi staf di YPS BDI. Walaupun harus kerja lembur sampai pagi saya tidak pernah minta naik gaji, karena saya senang,” cerita Kok Siong.

Selain itu juga, tambah Reda, jangan sekali-sekali menyesali konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Misalnya, kalau melihat orang lain gajinya lebih besar atau lebih berhasil dalam pekerjaannya, jangan lantas jadi sirik. Lalu panik dan merasa pekerjaan kita tidak ada gunanya. Lebih baik kita menekuni pekerjaan kita sampai membuahkan hasil. Reda sendiri saat baru pindah ke majalah wanita yang dibidaninya tidak mendapat dukungan siapa-siapa. Namun, dengan ketekunannya dalam waktu setahun majalah tersebut mendapat pengakuan para pembaca dan tirasnya naik terus. Alhasil, gaji Reda pun naik dua kali lipat pada tahun berikutnya.

Tanggung jawab terhadap pekerjaan dan diri sendiri
Bagaimana kalau konsekuensi yang dihadapi menyangkut lingkungan kerja kita? Seringkali yang membuat orang memutuskan bertahan di tempat kerjanya sekarang adalah faktor lingkungan. Bos dan rekan-rekan kerja yang penuh perhatian dan dukungan. Kita pakai baju apa hari ini mereka tahu, rambut belah tengah atau pinggir mereka perhatikan, dan lain sebagainya. Menurut Reda, ada kalanya lingkungan seperti ini justru memabukkan, sehingga kita jadi terlena dan tidak melihat peluang lain yang sebenarnya bisa meningkatkan karir kita di luar lingkungan ini.

Sebaliknya, lingkungan kerja yang tidak kondusif, seperti atasan yang tidak mendukung, persaingan kerja tidak sehat, konflik dengan rekan-rekan kerja, dan lain sebagainya bisa membuat semangat yang sudah menggebu-gebu jadi surut.

Jangan patah arang dulu. Menurut Reda, yang perlu dicamkan adalah kita bertanggung jawab pada pekerjaan dan diri sendiri. “Kita tidak bisa mempengaruhi sikap orang-orang terhadap kita. Tapi kita bisa mengerjakan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya dan menunjukkan prestasi kerja yang bagus. Buat pekerjaan kita bersinar. Biarkan prestasi kerja kita yang mengubah sikap orang-orang,” kata Reda memberikan kiatnya.

Sedang menurut Kok Siong konflik di tempat kerja harus dilihat sebagai sesuatu yang wajar. “Dulu saya sempat konflik dengan bos saya. Sampai-sampai jadi kehilangan mood dan nggak ada ide lagi buat kerja. Lama-lama saya pikir saya yang rugi sebenarnya. Mulailah saya menempatkan kembali pekerjaan sebagai prioritas di atas masalah pribadi,” cerita Kok Siong.

Sekarang, tidak ada ruginya kan Anda mencoba menerapkan kiat-kiat di atas. Apakah bisa membuat pekerjaan Anda bersinar? Nothing venture nothing gain! Kalau nggak dicoba, mana tahu!

*Dimuat dalam majalah Prajna, edisi Februari 2006 dari diskusi yang menampilkan narasumber Reda Gaudiamo, penulis dan mantan pemimpin redaksi majalah Cosmopolitan, yang telah menerbitkan buku kumpulan cerpen 'Bisik-bisik' dan album musikalisasi puisi 'Gadis Kecil'.

Thursday, January 26, 2006



The following takes place between 09.00 - 10.00
"Kenapa ya anak-anak di tempat kita sekarang ributin duit mulu. Dulu kerjaan juga banyak, masalah juga ada, tapi suasana tetap asik-asik aja," keluh teman saya dalam perjalanan menuju kantor.

Iya yah. Saya baru nyadar kalau akhir-akhir ini saya sering mendengar keluhan rekan-rekan saya yang ingin pindah kerja karena gaji tidak memuaskan.

The following takes place between 12.00 - 13.00
"Ooo.. kamu sebelumnya di AA. Kenal si U dong. Gimana kabarnya sekarang?" tanya saya pada seorang Account Director baru yang diperkenalkan pada kami.
"Oh dia. Unfortunately dia salah satu yang kena lay off kemarin," jawabnya.
O dear! Kurang apa lagi si U? Lulusan sekolah graphic design di luar negeri, pernah magang di biro iklan multinasional, passionnya gede. So, what's wrong?

"Untung ya di agency kita gak ada lay off. Masih bisa jalan-jalan ke Bali lagi bulan depan," komentar saya pada teman-teman sambil jalan ke food court buat makan siang. Terus kalau dipikir-pikir lagi gaji kita sebenarnya gak parah-parah amat lah. Teman saya yang belum lulus kuliah aja (tapi sudah penah kerja dan menang award saat masih mahasiswa) gajinya sedikit di atas dua juta rupiah. Buat hidup sehari-hari cukup lah. Cuma emang gak bisa mengeluarkan banyak 'biaya sosial'. Terus dia putus dari ceweknya dan yang jadi kambing hitam adalah karena gajinya kecil, sehingga dia tidak bisa memenuhi harapan keluarga si pacar. Teman saya yang satu lagi mengatakan bahwa selama dia gajinya masih 'segitu-segitu aja' dia gak mau cari pacar dulu. ('Segitu-segitu' itu masih di atas 2 juta rupiah lho)

The following takes place between 19.00 - 20.00.


Di sebuah toko buku di bilangan Kemang sedang berlangsung acara peluncuran antologi puisi yang dipelopori sebuah milis anak-anak muda yang senang berpuisi. Setelah 2 tahun dan mengatasi berbagai kendala baik dari pihak luar maupun dari dalam diri masing-masing personilnya. Flow acara memang masih sedikit kacau, tapi saya lihat semua orang larut dalam kegembiraan. Paling tidak selama beberapa jam itu saya bisa merasakan suatu passion yang berbeda dari yang saya temui akhir-akhir ini. Passion bahwa semua orang bisa berpuisi.


The following takes place between 23.00- 24.00
Saya sudah di rumah kembali. Tenggelam dalam lamunan dan sejuta rasa. Capek. Puas. Lega. Terutama lega karena passion itu ternyata masih ada. Passion untuk melakukan sesuatu yang kita sukai dan yakini. Lebih dari sekedar passion untuk uang, uang, dan uang. Terus kalau kita passionnya uang emang apa salahnya? Hmm... iya juga yah? Saya juga termasuk salah seorang yang punya passion terhadap uang. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, berapa banyak sih orang yang jadi kaya raya karena passionnya uang? Bill Gates, Steve Jobs, Steven Spielberg, JK Rowling, Donald Trump, David Ogilvy...... and the list continues. Sepengetahuan saya (dari artikel dan referensi yang saya baca tentang mereka) passion mereka awal-awalnya bukan uang deh. Tapi passion mereka lama-lama mendatangkan uang.

Terus kembali ke uang sebagai hambatan untuk mendapatkan pacar, apa iya itu persoalannya? Yang jelas, waktu pertama kali pacaran sama pacar sekarang, dia nggak punya duit. Tapi satu hal yang saya kagumi dari dia adalah kegigihannya untuk bangkit dari keterpurukan. Dari seorang anak desa yang keluarganya amburadul, siapa sangka koleganya sekarang banyak yang birokrat dan seniman papan atas. Bukan berarti dia sekarang kaya raya. Duitnya masih sedikit kok. Cuma, lumayan lah dari dulu cuma mampu naik kereta api senja atau fajar ekonomi sekarang bisa naik pesawat terbang kalau lagi tugas ke daerah. Lho kok saya jadi muji-muji pacar sendiri sih. Udah ah, stop!

Back to the topic. Yang bikin saya sedih adalah karena banyak teman saya sekarang berpikir cuma uang yang bisa bikin mereka bahagia dan mendapat apa yang mereka inginkan. Bukan kepercayaan diri, kemampuan, bakat, ketrampilan atau kerja keras kita. Tapi saya percaya itu semua yang sebenarnya bisa bikin kepala kita jadi tegak dan mendapatkan apa yang kita inginkan, termasuk uang. Paling tidak untuk malam ini saya ingin tidur pulas dengan keyakinan itu dan bangun pagi dengan penuh semangat.

Thank you my friends! Whatever your passion, you are all my inspiration. Love you all!

Thursday, January 19, 2006

Masih bisa hidup enak gak sih di Indonesia?



Mumpung masih awal tahun, saya ingin merefresh kembali liputan yang pernah saya buat untuk sebuah acara diskusi di Jakarta tahun lalu yang menampilkan Ishadi SK, Direktur Operasional Trans TV, sebagai narasumber.

Itu pertanyaan yang dilontarkan pada acara diskusi bulanan tanggal 21 Agustus 2005 lalu yang menghadirkan pembicara Ishadi SK, Direktur Operasional Trans TV, dan Pandita Daniel Warman, seorang pensiunan manajer bank. Dalam momentum HUT Kemerdekaan RI ke 60, tema diskusi menyoroti berbagai kebingungan terhadap kondisi Indonesia sekarang yang serba tak menentu. Berawal dari krisis BBM yang diperparah dengan krisis tenaga listrik, nilai rupiah yang semakin melemah, kondisi perekonomian yang kian lesu dan lain sebagainya. Belum lagi masalah-masalah individual, seperti keamanan, peluang kerja atau usaha yang semakin sulit, gaji yang tidak naik-naik, persaingan kerja yang kian ganas, serta berbagai kesulitan lainnya. Diskusi ini mempertanyakan kembali optimisme dan kepercayaan kita semua kepada pemerintah dan negara Indonesia.

Sebagaimana diungkap oleh Daniel Warman pada awal diskusi, ”Saya merasa seharusnya kita lebih mempertanyakan apa yang sudah kita perbuat untuk membuat hidup di Indonesia lebih enak, bukan sebaliknya.” Daniel juga menceritakan bagaimana dulu saat masih bekerja ia menyiasati pengelolaan gaji yang diterimanya pada saat itu, yang hanya cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarga selama 15 hari. “Cukup atau tidak cukup uang yang kita miliki itu relatif. Waktu itu saya disarankan untuk membuat anggaran dari 15 hari menjadi 30 hari dan disiplin dalam pengeluaran uang. Kalau dipikir-pikir saat itu di kantor setiap hari saya dikelilingi oleh tumpukan uang. Seandainya saya ambil beberapa lembar saja, pasti tidak ketahuan. Tapi saya bayangin bagaimana kalau suatu saat ketahuan dan dipecat. Saya merasa bagaimanapun saya adalah bagian dari perusahaan ini juga,” cerita Daniel. Kesimpulannya, hidup enak itu tidak sekonyong-konyong datang. ”Dengan prinsip dan disiplin yang saya jalankan ini, hidup enak justru saya nikmati saat sekarang,” tandasnya.

Ishadi juga mengingatkan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Seperti program pemberantasan korupsi, pencanangan Indonesia Incorporated, sebuah program untuk pemahaman bisnis sebagai ujung tombak, yang dicanangkan saat kunjungan presiden ke Cina bulan Juli lalu, perundingan damai Aceh di Helsinki, pembangunan infrastruktur serta peningkatan program dan anggaran pendidikan. ”Kuncinya adalah servis dan pengabdian,” ujar Ishadi sambil memaparkan faktor-faktor di balik kesuksesan Singapore Airlines (SQ), maskapai penerbangan internasional pertama yang menerbangkan Airbus 380. Menurut Ishadi, walaupun tarif SQ rata-rata 20-30% lebih tinggi, penerbangan ini selalu fully booked. ”Itu karena prinsip 5 S, 5 C dan 3 R yang mereka terapkan. 5 S= sincere (tulus), smile (senyum), skillful (ahli), speed (cepat), secure (aman). 5 C adalah confirm (kepastian), confidence (keyakinan), credible (bisa diandalkan), concern (perhatian), correct (tepat). 3 R adalah responsible (bertanggung jawab), respectful (menghargai), rewards (imbalan),” ujar Ishadi tentang etos kerja SQ.

Sekarang, siapkah kita mengubah nilai-nilai yang selama ini sering membuat kita terlena dan akhirnya menjerumuskan kita dalam berbagai kesulitan hidup?

Friday, January 06, 2006

Catatan Tahun 2006


Beberapa hal yang saya catat dari ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman menjelang detik-detik terakhir tahun 2005 adalah bahwa tahun 2005 hidup kita banyak diisi dengan ketakutan.

1. Takut gak punya pacar. Makanya begitu ada yang mau sambar dulu deh, daripada nanti
nggak dapat lagi.
2. Takut kesepian, makanya kawin aja deh.
3. Takut sudah gak cantik/ganteng lagi (a.k.a gak laku lagi). Makanya begitu ada yang mau
selingkuh aja deh.
4. Takut miskin. Makanya begitu ada peluang bisnis jalanin aja. Daripada jadi karyawan seumur
hidup yang tiap saat bisa digeser sama yang lebih muda.
5. Takut mentok di tempat kerja sekarang (gaji, jabatan, dll). Makanya buru-buru pindah
kerjaan yang gajinya lebih gede. Suka gak suka ama kerjaannya bisa dipikirin nanti-nanti.
6. Takut makan steak, karena daging sapinya mungkin kena virus 'mad cow'.
7. Takut makan telur dan daging ayam, karena flu burung.
8. Takut makan tahu, mi dan ikan, karena ada formalin.
9. Takut makan bakso, karena ada oplosan daging tikus.
(khusus 6-9 :Terus makan apa dong ?)

Kalau tiap keputusan atau hal yang kita lakukan dasarnya ketakutan, jadinya kayak apa ya?
Pantesan aja makin hari makin banyak perceraian, kriminalitas, korupsi, pengangguran sampai penyalahgunaan formalin.

Sekarang kalau kita balik ketakutan menjadi keyakinan, jadinya kayak apa?
1. Pilih pacar karena yakin cuma sama dia kita bisa tertawa dan nangis bareng serta
berbagi mimpi.
2-3. Kawin karena yakin cuma sama dia kita bahagia dan bisa mewujudkan impian bersama.
4-5. Pindah kerjaan karena yakin pekerjaan itu yang bisa mewujudkan impian kita dan
bikin puas.
6-9. Kalau udah waktunya mati, jangankan makan, lagi tidur aja kalau kamar kita ketiban
pesawat jatuh juga bisa mati.

Siapa tahu dengan begitu hidup jadi lebih enteng dan happy, rejeki mengalir terus.

So, resolusi saya tahun 2006 ini adalah apapun yang saya lakukan, pilihan, dan keputusan dasarnya adalah keyakinan dan keberanian. Yakin bahwa dengan melakukan itu saya masih bisa bermimpi, tertawa, dan bikin teman-teman saya tertawa bareng-bareng.

Selamat tahun baru 2006!