Thursday, February 09, 2006

Nothing Venture Nothing Gain



Hampir semua temannya terkejut mendengar keputusan Hartono membuka kios ponsel kecil di depan rumahnya. Di perusahaan makanan tempatnya bekerja sekarang Hartono sudah menjadi tangan kanan bos dengan gaji dan tunjangan memadai. Jadi, ngapain membuang semua yang telah dirintisnya bertahun-tahun demi memulai pekerjaan baru yang sama sekali belum pernah dirambahnya dari nol?

“Awalnya saya takut kalau kios ini nanti untungnya sedikit atau pasaran lagi sepi. Lain kalau kita bekerja sebagai karyawan. Gaji, tunjangan, atau THR sudah terjamin. Kalau sekarang saya harus punya business plan sendiri. Tapi saya yakin kalau kita sungguh-sungguh, kerja apa pun pasti bisa,” tandasnya dengan mantap.

Kalau Hartono mantap dengan pilihannya, maka Sri masih maju mundur. 9 tahun bekerja sebagai staf akunting di sebuah perusahaan semen, Sri merasa karirnya sudah ‘mentok’. Gaji tidak naik-naik, promosi jabatan tak kunjung datang, skill dan ketrampilan pun dirasa tidak berkembang, ditambah lagi ia tak pernah menyukai pekerjaan akunting sejak awal. Satu-satunya yang membuat Sri tetap bertahan adalah lingkungan kerja yang nyaman dan rekan-rekan kerja yang asik.

Sebenarnya, apa sih yang seharusnya kita cari dalam bekerja?

Hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup
Pertama-tama, tentunya kita perlu mempertanyakan kita kerja untuk apa. Cari uang? Tantangan? Kemandirian? Kepuasan dari melakukan hal-hal yang kita sukai? Reda Gaudiamo yang mengaku sudah 12 kali pindah-pindah kerja mengatakan bahwa setiap pilihan yang diambil memiliki konsekuensi tersendiri. Misalnya, semasa bekerja di biro iklan ia pernah menikmati gaji cukup tinggi. Namun, lambat laun pekerjaan itu dirasa tidak menantang lagi, karena hampir semua ide didatangkan dari kantor regional di luar negeri, sehingga boleh dibilang Reda tinggal mengadaptasinya ke dalam konteks Indonesia dan menikmati ‘gaji buta’. Ketika datang tawaran menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah wanita dengan gaji kurang dari setengah gajinya sekarang, tanpa pikir panjang ia langsung menerima.

“Pertimbangan saya adalah dengan majalah ini saya bisa mempengaruhi cara berpikir orang-orang. Membuat para perempuan percaya diri dan bisa menghargai laki-laki,” ujarnya. Ditambah lagi dengan pekerjaan barunya ia bisa mendapat beragam majalah dari manca negara gratis. Padahal dulu harus dibeli dengan menguras uang sakunya.

Senada dengan Reda, Pandita Tan Kok Siong menambahkan bahwa semua pekerjaan memiliki konsekuensinya masing-masing. Namun, yang terpenting adalah mendengarkan suara hati kita sendiri. “Kita pengennya apa. Jangan mengerjakan sesuatu hanya karena menurut orang-orang itu yang baik atau sebaliknya takut orang tidak menganggap itu baik untuk kita,” tandasnya.

Live out your words
Setelah menetapkan pilihan plus segala konsekuensinya, jalankan dengan gembira. “Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan supplier kelapa sawit. Dari nggak ngerti apa-apa sampai bisa merapikan database perusahaan yang kacau selama bertahun-tahun, sehingga gaji saya naik. Setelah merasa nggak ada tantangan lagi saya pindah kerja menjadi staf di YPS BDI. Walaupun harus kerja lembur sampai pagi saya tidak pernah minta naik gaji, karena saya senang,” cerita Kok Siong.

Selain itu juga, tambah Reda, jangan sekali-sekali menyesali konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Misalnya, kalau melihat orang lain gajinya lebih besar atau lebih berhasil dalam pekerjaannya, jangan lantas jadi sirik. Lalu panik dan merasa pekerjaan kita tidak ada gunanya. Lebih baik kita menekuni pekerjaan kita sampai membuahkan hasil. Reda sendiri saat baru pindah ke majalah wanita yang dibidaninya tidak mendapat dukungan siapa-siapa. Namun, dengan ketekunannya dalam waktu setahun majalah tersebut mendapat pengakuan para pembaca dan tirasnya naik terus. Alhasil, gaji Reda pun naik dua kali lipat pada tahun berikutnya.

Tanggung jawab terhadap pekerjaan dan diri sendiri
Bagaimana kalau konsekuensi yang dihadapi menyangkut lingkungan kerja kita? Seringkali yang membuat orang memutuskan bertahan di tempat kerjanya sekarang adalah faktor lingkungan. Bos dan rekan-rekan kerja yang penuh perhatian dan dukungan. Kita pakai baju apa hari ini mereka tahu, rambut belah tengah atau pinggir mereka perhatikan, dan lain sebagainya. Menurut Reda, ada kalanya lingkungan seperti ini justru memabukkan, sehingga kita jadi terlena dan tidak melihat peluang lain yang sebenarnya bisa meningkatkan karir kita di luar lingkungan ini.

Sebaliknya, lingkungan kerja yang tidak kondusif, seperti atasan yang tidak mendukung, persaingan kerja tidak sehat, konflik dengan rekan-rekan kerja, dan lain sebagainya bisa membuat semangat yang sudah menggebu-gebu jadi surut.

Jangan patah arang dulu. Menurut Reda, yang perlu dicamkan adalah kita bertanggung jawab pada pekerjaan dan diri sendiri. “Kita tidak bisa mempengaruhi sikap orang-orang terhadap kita. Tapi kita bisa mengerjakan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya dan menunjukkan prestasi kerja yang bagus. Buat pekerjaan kita bersinar. Biarkan prestasi kerja kita yang mengubah sikap orang-orang,” kata Reda memberikan kiatnya.

Sedang menurut Kok Siong konflik di tempat kerja harus dilihat sebagai sesuatu yang wajar. “Dulu saya sempat konflik dengan bos saya. Sampai-sampai jadi kehilangan mood dan nggak ada ide lagi buat kerja. Lama-lama saya pikir saya yang rugi sebenarnya. Mulailah saya menempatkan kembali pekerjaan sebagai prioritas di atas masalah pribadi,” cerita Kok Siong.

Sekarang, tidak ada ruginya kan Anda mencoba menerapkan kiat-kiat di atas. Apakah bisa membuat pekerjaan Anda bersinar? Nothing venture nothing gain! Kalau nggak dicoba, mana tahu!

*Dimuat dalam majalah Prajna, edisi Februari 2006 dari diskusi yang menampilkan narasumber Reda Gaudiamo, penulis dan mantan pemimpin redaksi majalah Cosmopolitan, yang telah menerbitkan buku kumpulan cerpen 'Bisik-bisik' dan album musikalisasi puisi 'Gadis Kecil'.